Dari Surau Ke Masa Depan: Mencetak Pemimpin Muda Yang Berkarakter

Oleh: Muhamad Alriansyah Idris

Hari ini, Indonesia bukan kekurangan sumber daya alam atau manusia, tapi sedang mengalami krisis dalam hal kepemimpinan yang jujur dan berpihak pada rakyat.

Banyak dari kita menyaksikan, bagaimana generasi muda saat ini lebih akrab dengan konten viral ketimbang sejarah bangsa. Padahal, perjalanan negeri ini pernah diwarnai oleh semangat anak-anak muda yang berani berpikir dan bergerak.

Lihat saja sosok seperti Tan Malaka yang pada usia muda sudah berani menggagas ide besar tentang pendidikan dan kemerdekaan, Atau Mohammad Hatta yang sejak masih mahasiswa aktif menulis gagasan ekonomi dan menjadi pemimpin pergerakan.

Generasi muda dulu sibuk membangun ide dan karakter, sementara kini sebagian besar justru lebih disibukkan dengan pencitraan digital dan tren instan.

Apa yang membuat generasi dulu bisa sekuat itu? Salah satu kuncinya adalah pada model pendidikan yang menanamkan nilai hidup, bukan sekadar hafalan. Di Minangkabau, misalnya,ada tradisi Surau—tempat anak laki-laki remaja belajar dan dibina setelah baligh.

Di sinilah anak-anak lelaki yang telah baligh meninggalkan kenyamanan rumah untuk hidup di bawah bimbingan guru (tuanku). Mereka tidak hanya belajar agama, tapi juga logika, seni bela diri, dan nilai-nilai kepemimpinan. Surau menjadi ruang pembentukan karakter, bukan hanya tempat ibadah.

Berbeda jauh dengan pendidikan masa kini yang cenderung kaku dan berorientasi pada angka. Guru tak lagi punya cukup ruang membimbing secara personal, siswa pun lebih fokus mengejar nilai ketimbang makna. Sistemnya membuat anak muda pintar secara teknis, tapi minim daya tahan moral dan sosial.

Pertanyaannya: mungkinkah semangat Surau ini kita hidupkan kembali dalam bentuk yang lebih sesuai zaman?

Jawabannya: tentu saja bisa.

Kita bisa membayangkan bentuk baru dari “Surau modern” yakni komunitas belajar yang membaurkan ilmu agama, kepemimpinan, keterampilan praktis, dan diskusi terbuka.Tempat di mana anak-anak muda tidak hanya duduk mendengarkan, tapi juga berpikir kritis, berlatih memimpin, dan terlibat dalam aksi nyata.

Seperti yang pernah dikatakan Buya Hamka, “Tujuan hidup bukanlah untuk menjadi besar, tetapi untuk menjadi berguna.”

Kutipan ini relevan untuk menggambarkan urgensi membentuk generasi pemuda yang tak hanya cerdas, tapi juga peduli dan siap memimpin.

Kita memang tak bisa kembali ke masa lalu, tapi kita bisa mengambil ruh dan semangatnya. Jika Surau pernah melahirkan tokoh besar bangsa, maka dengan pembaruan yang sesuai konteks, semangat itu bisa menjadi jalan untuk mencetak pemimpin masa depan.

Perubahan tidak butuh waktu yang sempurna, tapi butuh niat yang konsisten. Dan mungkin, langkah kecil kita hari ini, bisa jadi fondasi besar untuk Indonesia esok hari.

Penulis Adalah Presiden Mahasiswa UNIB Tahun 2022

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *