Ditulis oleh : Rengky Yasepta
Fulbright Scholar
Hari ini saya mendapat kesempatan untuk memberikan presentasi di hadapan para peserta Fulbright Meet and Greet di Colorado School of Mines (CSM). Beberapa minggu sebelumnya, panitia menghubungi saya dan beberapa Fulbrighter lain di CSM untuk berbagi pengalaman selama menjadi penerima beasiswa Fulbright (selanjutnya disebut Fulbrighter). Tanpa ragu, saya menyanggupi ajakan tersebut via email.
Acara dimulai pukul 12 siang dan dihadiri sekitar 20 Fulbrighter yang berada di lingkungan kampus—mulai dari mahasiswa aktif, akademisi, hingga alumni CSM yang telah meniti karier, serta beberapa staf dari kantor International Student dan Global Education. Dua Fulbrighter dijadwalkan untuk menyampaikan presentasi, dan saya adalah salah satunya.
Saya tampil sebagai pembicara kedua. Namun, saya cukup terkejut ketika tahu bahwa pemateri pertama adalah seorang profesor yang menyampaikan presentasi “serius” tentang penelitiannya di bidang Humanitarian Engineering. Para peserta menyimak dengan penuh perhatian.
Sebelum tampil, saya sempat berbisik kepada panitia bahwa saya tidak menyangka formatnya akan seformal itu. Saya hanya menyiapkan presentasi ringan tentang perjalanan saya sebagai Fulbrighter, sebagaimana yang diminta di email. Panitia meyakinkan saya bahwa itu justru akan menjadi penyeimbang yang dibutuhkan setelah materi pertama yang bernuansa akademik.
Ketika giliran saya tiba, slide pertama saya buka dengan memperkenalkan asal-usul saya—dari Bengkulu, sebuah provinsi kecil di Indonesia yang terkenal dengan bunga raksasa, Rafflesia Arnoldi, berdiameter sekitar 1 meter dan berat hingga 11 kilogram. Para peserta tampak terpukau.
Saya memperkenalkan diri sebagai penulis buku, sekaligus sebagai pegawai negeri di pemerintah provinsi Bengkulu. Awalnya saya tak pernah berpikir akan meneruskan kuliah di Amerika Serikat, namun saya akhirnya sadar bahwa saya harus berani keluar dari zona nyaman agar bisa melihat dunia luas, sampai akhirnya mendapatkan beasiswa Fulbright sejak tahun lalu.
Namun demikian, saya melanjutkan slide kedua, perjalanan saya tidak semulus itu. Sebelum diterima oleh Fulbright, saya sudah beberapa kali mencoba beasiswa lain—tiga kali melamar Australia Awards Scholarship, dua kali mencoba Chevening Inggris, serta beasiswa ke Jepang, China, dan bahkan dalam negeri. Semuanya menolak.
Namun Fulbright melihat sesuatu dalam diri saya. Mereka menemukan cerita yang unik dan potensi untuk menciptakan perubahan. Saya tidak sepintar yang mungkin orang bayangkan, tapi saya percaya saya unik. Saya pun diterima pada percobaan pertama melamar beasiswa Fulbright. Jadi bagi saya, Fulbright bukan sekedar beasiswa, namun merupakan sebuah pintu menuju ke dunia luar.
Slide berikutnya saya isi dengan cerita tentang pengalaman Fulbright saya di Amerika Serikat yang dimulai di Syracuse University, New York, selama Juli–Agustus 2024. Itu adalah perjalanan pertama saya ke luar negeri—yang menyenangkan sekaligus mendebarkan.
Selama di kelas di Syracuse, saya berinteraksi dengan 40 Fulbrighter dari berbagai belahan dunia, termasuk negara-negara yang sebelumnya bahkan belum pernah saya dengar. Dari pengalaman ini, saya belajar tak hanya soal akademis, tapi juga tentang empati, keberagaman, dan pentingnya saling memahami (mutual understanding), yang merupakan bagian dari misi Fulbright.
Perjalanan saya berlanjut di kampus akademik saya saat ini, Colorado School of Mines, salah satu kampus teknik terbaik di dunia, bahkan dinobatkan sebagai kampus pertambangan nomor satu secara global.
Pada slide terakhir, saya menyampaikan rasa syukur yang mendalam karena telah menjadi bagian dari keluarga Fulbright. Fulbright telah membuka jalan, dan kini giliran saya melangkah ke depan dengan keyakinan.
Pengalaman ini membuat saya ingin terus berkembang dan menjadi versi terbaik dari diri saya. Salah satu impian terbesar saya adalah menjadi penulis buku best-seller berskala internasional. Mimpi ini memang besar, tapi jika ada satu hal yang saya pelajari dari Fulbright, itu adalah: tidak ada yang mustahil jika kita punya tekad dan keberanian.
Presentasi saya pun diiringi dengan tepuk tangan dan senyum hangat dari para peserta. Sebelum menutup, saya menyisipkan slide kelima berisi gambar buku saya, KERTAS ATAU EMAS?, yang baru saja cetak ulang kelima dengan penerbit baru.
Lima slide sederhana itu merangkum esensi perjalanan saya sebagai Fulbrighter. Ketika saya akan meninggalkan podium, saya pun di-stop oleh seorang peserta dengan tangan terangkat ke atas yang ternyata begitu antusias ingin tahu lebih lanjut tentang isi buku saya tadi.
Akhirnya saya kembali ke depan dan memberikan penjelasan tambahan secara verbal. Pertanyaan lainnya pun menyusul. Setelah semua rasa ingin tahu terjawab, barulah saya benar-benar menutup presentasi, yang kembali disambut tepuk tangan meriah. Beberapa peserta membisikkan kata “Awesome” sembari tersenyum. Saya pun membalas dengan senyum tulus dan ucapan terima kasih.
Golden, Colorado School of Mines
24 April 2025