Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, menyampaikan penolakan tegas atas kebijakan yang melarang penggunaan hijab atau jilbab bagi anggota Paskibraka putri pada saat pengukuhan dan pelaksanaan tugas pada tanggal 17 Agustus 2024 di Istana Negara Ibukota Nusantara (IKN).
Kebijakan tersebut, menurut Rohidin, yang juga mencakup perwakilan Paskibraka dari Provinsi Bengkulu, dinilai diskriminatif dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila serta semangat kebhinekaan Indonesia.
Dalam surat resmi yang disampaikan kepada pihak terkait, Gubernur Rohidin menyatakan keprihatinan mendalam atas kebijakan tersebut dan menyerukan peninjauan ulang.
Menurut Gubernur Rohidin, larangan penggunaan hijab tidak hanya melanggar hak asasi individu, tetapi juga menciderai prinsip kebebasan beragama yang diatur dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut kepercayaannya.
“Larangan ini tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan justru merusak keragaman yang seharusnya kita junjung tinggi sebagai bangsa. Kebijakan tersebut adalah bentuk diskriminasi yang tidak dapat kami terima,” tegas Gubernur Rohidin.
Gubernur Rohidin juga merujuk pada pernyataan Pengurus Pusat Purna Paskibraka Indonesia (PPI) yang menyatakan keprihatinan dan penolakan terhadap kebijakan ini. Dukungan yang kuat dari berbagai pihak menegaskan bahwa kebebasan beragama dan ekspresi keagamaan adalah hak yang tidak boleh dikompromikan, bahkan dalam upacara resmi kenegaraan.
“Kami mendesak agar kebijakan ini segera ditinjau ulang untuk memastikan bahwa semua anggota Paskibraka putri dapat melaksanakan tugas mereka dengan tetap menghormati keyakinan agama masing-masing. Kebhinekaan adalah kekuatan kita sebagai bangsa, dan tidak boleh ada kebijakan yang merusak fondasi tersebut,” lanjutnya.
Gubernur Rohidin menegaskan komitmen Pemerintah Provinsi Bengkulu untuk terus menjaga dan melindungi hak-hak warganya, termasuk kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Ia berharap agar kebijakan yang lebih inklusif dan menghargai keberagaman dapat diterapkan pada upacara-upacara kenegaraan mendatang.
Penolakan ini diharapkan dapat menjadi langkah awal menuju perbaikan kebijakan yang lebih adil dan tidak diskriminatif, serta mencerminkan semangat persatuan dan kebhinekaan yang merupakan inti dari jati diri bangsa Indonesia.(rls)