GK – Nilai tukar rupiah kembali mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Kamis (6/2/2025). Berdasarkan data Bloomberg, rupiah turun 0,30 persen atau melemah 48 poin ke level Rp16.341 per dolar AS.
Analis pasar uang, Ibrahim Assuaibi, menyebut pelemahan rupiah kali ini dipicu oleh kekhawatiran pasar terhadap eskalasi perang dagang antara AS dan Tiongkok.
“Sentimen terhadap Tiongkok melemah akibat kebijakan Presiden AS yang kembali memberlakukan tarif perdagangan sebesar 10 persen terhadap produk asal Tiongkok,” ujarnya.
Merespons kebijakan AS, Tiongkok tidak tinggal diam dan membalas dengan menerapkan tarif serta kontrol ekspor terhadap beberapa produk strategis. Langkah ini memicu kekhawatiran bahwa perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia tersebut akan semakin meningkat.
“Analis JP Morgan memperingatkan bahwa ketegangan perdagangan AS-Tiongkok berpotensi terus meningkat. Bahkan, ada kemungkinan Presiden AS Donald Trump akan menaikkan tarif hingga 60 persen terhadap produk asal Tiongkok,” tambah Ibrahim.
Dampak perang dagang ini tidak hanya dirasakan oleh rupiah, tetapi juga memengaruhi pergerakan pasar global. Di Jepang, anggota dewan Bank of Japan, Naoki Tamura, mengisyaratkan bahwa pertumbuhan upah dan inflasi yang stabil dapat mendorong bank sentral Jepang untuk menaikkan suku bunga menjadi 1 persen pada paruh kedua 2025.
Selain isu perang dagang, pasar juga tengah menanti rilis data penggajian nonpertanian AS (non-farm payroll) pada Jumat (7/2/2025). Data ini akan menjadi indikator penting bagi arah kebijakan suku bunga AS ke depan.
Di dalam negeri, pelaku pasar mencermati perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam dua tahun terakhir. Menurut Ibrahim, hal ini disebabkan oleh ketidakberpihakan kebijakan pemerintah terhadap kelas menengah.
“Beban hidup masyarakat kelas menengah terus meningkat, padahal mereka merupakan kelompok yang paling berkontribusi terhadap konsumsi rumah tangga. Sayangnya, berbagai kebijakan ekonomi justru lebih condong ke kelas bawah melalui bantuan sosial, sementara kelas menengah semakin terbebani oleh pajak dan pungutan lainnya,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa selama 2024, harga barang dan jasa yang menjadi kebutuhan utama kelas menengah terus meningkat, mulai dari biaya transportasi, harga kebutuhan pokok, hingga layanan digital seperti pulsa dan paket data.
Akibat tekanan ekonomi tersebut, konsumsi rumah tangga tidak mampu tumbuh lebih tinggi, sehingga turut berkontribusi pada perlambatan ekonomi nasional.
“Tidak heran jika pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih di bawah pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan,” pungkas Ibrahim.(Ns)