Ditulis oleh: Rifyal Fajri
Pemerhati Dan Praktisi
GK, Bengkulu — Sebagai praktisi perbankan yang mengamati dinamika sistem pembayaran nasional, saya melihat QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) bukan hanya sebagai inovasi teknologi, tetapi sebagai manifestasi kemandirian Indonesia dalam mengendalikan ekosistem finansialnya.
Keduanya telah menjadi tulang punggung transaksi digital dalam negeri sejak diluncurkan beberapa tahun lalu, mengubah wajah pembayaran dari yang sebelumnya terfragmentasi menjadi terstandarisasi, efisien, dan inklusif. Namun, di balik kesuksesan ini, tekanan global khususnya dari raksasa finansial AS kian menguat.
Lobi 2019 vs Ketegasan Bank Indonesia: Awal Perlawanan
Pada 2019, Indonesia menghadapi gelombang pertama tekanan ketika perusahaan kartu global seperti Visa dan MasterCard melobi pemerintah dan Bank Indonesia (BI) agar kebijakan wajib GPN dilonggarkan. Saat itu, mereka berargumen bahwa aturan GPN yang mewajibkan semua transaksi debit domestik diproses melalui infrastruktur lokal akan menghambat investasi asing.
Namun, penulis melihat BI bersikukuh dengan pendiriannya kedaulatan sistem pembayaran adalah harga mati Keputusan ini bukan tanpa alasan. Sebelum GPN, lebih dari 80% transaksi kartu debit Indonesia bergantung pada jaringan Visa dan MasterCard, yang berarti biaya interchange fee dan data transaksi mengalir ke luar negeri. Hadirnya GPN memutus ketergantungan ini, memastikan transaksi antar-bank sepenuhnya dalam kendali infrastruktur lokal – Indonesia.
2025 : Tuduhan “Proteksionisme Digital” dari USTR Memasuki 2025, tekanan kembali mengemuka. United States Trade Representative (USTR) secara resmi menyoroti QRIS dan GPN dalam laporannya, menyebut kedua sistem ini sebagai ‘tembok tinggi’ yang menghambat perusahaan fintech AS seperti Visa dan MasterCard beroperasi di Indonesia. Istilah ‘proteksionisme digital’ digunakan untuk menggambarkan kebijakan Indonesia sebagai ancaman bagi ekosistem pembayaran global.
Pertanyaannya: Mengapa AS begitu vokal?
Kehilangan Pasar yang Potensial.
Sejak 2023, QRIS telah digunakan oleh 45 juta UMKM dan mencakup 85% transaksi digital mikro di Indonesia. Visa dan MasterCard kehilangan pangsa pasar yang sebelumnya bisa mereka kuasai lewat kartu kredit/debit.
Biaya yang “Terpotong”
Dengan GPN, biaya transaksi debit hanya 0,3-0,5%, jauh di bawah skema Visa/MasterCard yang bisa mencapai 1,5%.
Data Transaksi yang Tidak Bisa Dimonopoli
Seluruh data transaksi melalui QRIS dan GPN diolah di dalam negeri, tertutup bagi perusahaan asing yang ingin memanfaatkannya untuk keuntungan komersial. Selain itu, kontrol data transaksi oleh BI membuat perusahaan asing kesulitan memonetisasi data konsumen Indonesia. Padahal, data transaksi adalah “emas baru” di era digital.
Membongkar Narasi “Proteksionisme” ala USTR
Tuduhan USTR bahwa QRIS dan GPN bersifat proteksionis perlu dikritisi. Faktanya:
QRIS dan GPN Terbuka untuk Kolaborasi
Perusahaan asing boleh berpartisipasi asalkan tunduk pada regulasi lokal. Contohnya, beberapa bank asing di Indonesia sudah terintegrasi dengan GPN. Yang ditolak adalah dominasi sistem luar yang tidak mengakomodasi kepentingan nasional.
Instrumen Inklusi, Bukan Eksklusi
QRIS dirancang untuk UMKM yang tidak mampu membayar biaya tinggi atau membeli alat POS. Visa/MasterCard seringkali tidak cocok untuk transaksi mikro di pasar tradisional.
Langkah Serupa Dilakukan Banyak Negara
India punya UPI, Tiongkok dengan UnionPay, dan Brasil dengan PIX. AS sendiri melindungi Visa/MasterCard melalui kebijakan domestiknya.
Mengapa Indonesia Harus Bertahan?
Transaksi Domestik, Penguatan Rupiah
Dengan QRIS dan GPN, penyelesaian transaksi (settlement) menggunakan rupiah dan melalui BI. Ini mengurangi tekanan pada cadangan devisa dan stabilisasi nilai tukar.
Keamanan Data di Tangan Sendiri
Kasus kebocoran data kartu kredit asing (seperti yang pernah terjadi pada Tokopedia 2020) menjadi pelajaran: data finansial rakyat harus dilindungi oleh sistem lokal.
Mendorong Inovasi Fintech Lokal
LinkAja, DANA, dan dompet digital lain tumbuh karena infrastruktur QRIS yang terstandar. Tanpa GPN, inovasi ini mungkin tenggelam oleh oligopoli asing.
Tantangan ke Depan: Kolaborasi vs Kedaulatan
Tekanan AS lewat USTR bukan yang terakhir. Indonesia harus siap menghadapi risiko pembalasan dagang atau kampanye negatif internasional. Namun, langkah strategis harus tetap diambil :
Perkuat Diplomasi Ekonomi
Pemerintah harus bisa menjelaskan bahwa QRIS/GPN bukan proteksionisme, melainkan respons terhadap kebutuhan spesifik pasar Indonesia yang tidak bisa diakomodasi sistem global.
Edukasi Pelaku Usaha
Sosialisasi ke UMKM bahwa biaya QRIS lebih rendah dan aman harus masif, agar mereka tidak tergoda “iming-iming” promo dari platform asing.
Ekspansi QRIS Cross-Border
Kolaborasi pengunaan QRIS dengan negara tetanga, Malaysia dan Thailand. Ini bisa menjadi bukti bahwa sistem Indonesia terbuka untuk kerja sama regional, selama prinsip resiprokal dijunjung.
Kedaulatan Bukan Pilihan, tapi Keharusan
Kritik dari USTR adalah konsekuensi logis ketika Indonesia mulai menolak jadi “pasar empuk” bagi korporasi global. QRIS dan GPN adalah bukti bahwa kita mampu membangun sistem sesuai kebutuhan lokal, tanpa mengisolasi diri dari dunia.
Jika AS protes, biarkan. Sejarah membuktikan bahwa negara yang menguasai sistem pembayarannya sendiri—seperti Tiongkok dengan UnionPay—akan lebih tangguh dalam menghadapi gejolak global. Kini, saatnya Indonesia berdiri sama tinggi dengan mengedepankan kepentingan rakyatnya sendiri.
QRIS dan GPN bukan sekadar alat transaksi, melainkan simbol kedaulatan finansial Indonesia. Dengan sistem yang “by Indonesia, for Indonesia”, kita memastikan bahwa nilai tambah ekonomi tetap di dalam negeri, UMKM bertumbuh, dan kebijakan tidak dikendalikan oleh kepentingan asing. Jika ada yang protes, biarkan saja. Justru itu tanda kita berada di jalur yang benar.
QRIS dan GPN: Dari Indonesia, untuk Indonesia!
Bangga menggunakan QRIS, Bangga Ber-GPN!