Perkara Kepemimpinan Bersama Gurunda Buya Hamka

Rifyal Fajri

Dialog Imajiner.

Oleh: Riyal Fajri

Senja di beranda rumah Buya Hamka di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta. Udara sore yang tenang dan sejuk, langit berwarna hampir jingga, dan angin sepoi-sepoi menggerakkan daun pepohonan. Buya duduk di kursi rotan sambil menyeruput kopi pahit kesukaannya. Menyengaja bersilaturahmi kehadapan buya tak disangka disela kesibukannya aku diizinkan Allah bersua dengan beliau, setelah memperkenalkan diri kemudian aku lanjut berkata …

“Alhamdulillah, sore yang indah, Buya. Kelihatannya Buya sedang menikmati waktu sambil meresapi nikmat Allah?”

(buya tersenyum, menyeruput kopi) “Benar, nak. Di antara kesibukan, kita perlu sejenak mengingat diri. Seperti kopi ini pahit, tapi menghangatkan hati dan pikiran.” (memandang jauh) “Kau datang ingin bicara apa?”

“Saya penasaran, Buya. Dalam organisasi, apa bedanya pemimpin sejati dan pengikut sejati? Bagaimana keduanya bisa membedakan organisasi yang kuat dari yang sekadar berkumpul?”

(buya meletakkan cangkirnya) “Pemimpin sejati itu seperti akhlak Nabi Muhammad SAW: shiddiq (benar), amanah (dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathanah (cerdas). Tapi ingat, nak—pemimpin tanpa pengikut yang setia bagai kapal tanpa awak.”

“Lalu, bagaimana pengikut yang baik buya?” Aku mendehem seakan ada sisa kopi yg blm tertelan, sambil memperbaiki dudukku dengan tatapan kagum dengan buya

(buya mengangguk) “Pengikut sejati bukan bebek yang hanya ikut perintah. Jika diperlulan Ia harus bisa kritis, tapi tetap tawadhu (rendah hati). Seperti sahabat Nabi—mereka berani mengingatkan jika pemimpin keliru, tapi tak merusak barisan.”

Aku kemudian bertanya lagi, “Organisasi Islam seperti Muhammadiyah bisa bertahan puluhan tahun. Apa rahasianya, Buya?”

(buya tersenyum bijak) “Organisasi kuat itu punya tiga pondasi:

1. Visinya Jelas, bukan sekadar ikut tren. Muhammadiyah berdiri untuk pendidikan dan pembebasan umat dari kebodohan.

2. Anggotanya Tergerak Hati, bukan karena paksaan atau imbalan duniawi.

3. Ada Adab dalam Perbedaan. Perselisihan pasti ada, tapi diatur dengan husnuzhan (prasangka baik) dan musyawarah.”

Aku semakin serius bertanya, “Tapi banyak organisasi sekarang pecah karena konflik internal…”

(buya meneguk kopi) “Itu karena mereka lupa adab bermuamalah. Dalam Tafsir Al-Azhar, saya tulis: ‘Persatuan yang rapuh adalah yang hanya mengandalkan kesamaan kepentingan, bukan kesamaan iman dan akhlak.”

(memandang langit, lalu menatap jam saku) “Subhanallah, waktu Asar hampir habis. Nak, sebelum maghrib tiba, mari kita ke Masjid Al-Azhar untuk sholat berjamaah. Di sana, kita bisa bertemu dengan saudara-saudara seiman, sekaligus mengingat bahwa kepemimpinan sejati bermula dari ketaatan kepada Allah.”

(aku tersenyum) “Masjid Al-Azhar? Bukankah itu masjid yang juga terkait dengan nama Buya melalui Tafsir Al-Azhar?

(buya mengangguk sambil berdiri) “Benar. Masjid itu tak jauh dari sini, di Jalan Sisingamangaraja. Selain tempat ibadah, ia juga pusat ilmu dan persaudaraan. Pemimpin yang baik harus selalu dekat dengan rumah Allah dan umat-Nya.”

(Aku dan Buya berjalan perlahan menuju Masjid Al-Azhar. Suara azan maghrib mulai berkumandang, mengiringi langkah kami berdua).

(Disamping buya sambil berjalan cepat) “Ingat, nak, sholat berjamaah itu mengajarkan disiplin, kesetaraan, dan kepemimpinan yang tawadhu’. Imam tak lebih tinggi dari makmum ia hanya pemandu sementara. Begitu pula dalam organisasi, pemimpin hanyalah pelayan yang diamanahkan tanggung jawab.”

Sesampainya di masjid, Buya menyuruhku untuk berwudhu. Usai sholat, aku berpamitan dengan hati yang tenang dan pikiran yang jernih. Alhamdulillah ya Rabb.

Bengkulu

25 Mei 2025

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *