Jangan Salah Mengambil Hikmah

Oleh : Cahyadi Takariawan

Syaqiq bin Ibrahim (wafat 194 H) adalah seorang guru dan ulama sufi yang tinggal di kota Balkh, termasuk wilayah Khurasan, sehingga lebih dikenal dengan nama Syaqiq Al-Balkhi.

Ia berasal dari keluarga saudagar yang kaya raya, dan akhirnya mewarisi pekerjaan menjadi pedagang yang sukses.

Suatu hari Ibrahim dan Adham bertemu Syaqiq AI-Balkhi di Makkah. Ibrahim berkata kepada Al-Balkhi, “Maukah engkau menceritakan kepadaku awal kisah perjalanan spiritualmu?”

“Waktu itu, aku sedang berjalan melintasi sebuah padang,” ujar Syaqiq. “Tiba-tiba aku melihat seekor burung yang patah sayapnya,” tambahnya.

“Dalam hati aku bergumam, lihat dan perhatikanlah dari mana burung ini mendapatkan makanannya?”

“Aku duduk di samping burung itu. Sesaat kemudian, datanglah seekor burung lain sambil membawa makanan di paruhnya. Burung yang datang kemudian ini, melolohkan makanan di paruh burung yang sayapnya patah”.

“Melihat kejadian tersebut, aku berkata dalam hati, ‘Sesungguhnya Dia yang telah mengutus burung yang sehat untuk menolong burung yang patah sayap, pasti Dia juga kuasa memberiku rezeki di mana pun aku berada.”

“Sejak saat itulah aku memilih memfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah dan tidak berdagang”, tambah Syaqiq.

Ibrahim mendengar kisah Syaqiq dengan seksama.

“Wahai Syaqiq”, ujar Ibrahim, “Mengapa engkau lebih memilih menjadi burung yang patah sayapnya? Mengapa engkau tidak memilih menjadi burung sehat yang telah memberi makan burung yang sakit tersebut?”

“Wahai Syaqiq, tidakkah engkau mendengar bahwa Rasulullah saw telah bersabda, ‘Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah’. Bukankah di antara tanda seorang mukmin sejati adalah dia menginginkan satu dari dua derajat yang lebih tinggi dalam segala hal, hingga dia mencapai tingkatan Al-Abrar (orang vang banyak berbakti)?”

Syaqiq AI-Balkhi tersentak mendengar penjelasan Ibrahim bin Adham. Ia mencium tangan Ibrahim bin Adham seraya berkata, “Engkau benar-benar guru kami, wahai Abu Ishaq.”

Pertanyaan Ibrahim bin Adham sangat telak. “Mengapa engkau lebih memilih menjadi burung yang patah sayapnya?” Ini adalah kesalahan yang fatal dalam mengambil pelajaran.

Jika ada dua burung, yang satunya sakit dan satunya sehat. Yang satunya lemah dan satunya kuat. Mengapa meletakkan diri pada kondisi burung yang sakit dan lemah, yang memerlukan bantuan burung lain?

“Mengapa engkau tidak memilih menjadi burung sehat yang telah memberi makan burung yang sakit tersebut?”

Salah mengambil hikmah, bisa membuat seseorang menjadi pemalas dan tak mau bekerja. Berhati-hatilah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *