GK, Bengkulu – Wakil Gubernur Bengkulu, Mian, menyuarakan keprihatinannya terhadap nilai Dana Bagi Hasil (DBH) sawit yang diterima Provinsi Bengkulu, meski daerah ini memiliki potensi produksi sawit yang besar.
Hal ini disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi II DPR RI baru-baru ini.
Mian menyoroti ketimpangan antara jumlah industri sawit di Bengkulu dan besaran DBH yang dikucurkan pemerintah pusat. Menurutnya, dengan keberadaan 42 pabrik kelapa sawit yang beroperasi dengan kapasitas rata-rata 35 hingga 60 ton per jam, nilai DBH yang diterima daerah seharusnya jauh lebih besar.
“Provinsi Bengkulu memiliki 42 pabrik sawit dengan kapasitas terpasang rata rata 35 – 60 ton per jam, dibilang bagi hasil amat sangat kecil. Di triwulan ketiga hanya sedemikian. Untuk itu saya minta evaluasi DBH kepada Komisi II (DPR RI),” kata Mian.
Sebagaimana diketahui, Dana Bagi Hasil merupakan dana yang dialokasikan pemerintah pusat kepada daerah, bersumber dari penerimaan sektor sumber daya alam seperti migas, pertambangan, kehutanan, dan termasuk perkebunan sawit.
Dana ini bertujuan mendukung kebutuhan pembangunan dan layanan publik di daerah.
Namun data dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) mencatat, pada tahun 2025 Provinsi Bengkulu hanya menerima DBH sawit sebesar Rp40,29 miliar, angka yang dinilai belum mencerminkan kontribusi daerah terhadap industri kelapa sawit nasional.
Menanggapi hal ini, Anggota DPR RI Fraksi Gerindra, Aziz Subekti, menyampaikan bahwa pemerintah pusat, khususnya di bawah kepemimpinan Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, sangat memperhatikan keluhan daerah terkait pendanaan dari pusat.
“Ada 42 pabrik kelapa sawit di Bengkulu dengan tingkat produksi 43 ton per jam, tapi bagi hasil tak seimbang. Bahkan Bapak Prabowo sangat konsen masalah ini,” tutup Aziz.(Rs)