GK, Bengkulu – Senator Bengkulu, Apt. Destita Khairlisani, S.Farm, menegaskan komitmennya untuk memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas di Provinsi Bengkulu dalam kebijakan tingkat pusat.
Hal itu ia sampaikan dalam pertemuan bersama sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) serta perwakilan organisasi disabilitas di Bengkulu dalam rangka pengawasan implementasi undang-undang bagi penyandang disabilitas pada Rabu (19/3/25).
“Pertemuan tadi dihadiri oleh perwakilan Bappeda, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja, serta 10 organisasi disabilitas di Provinsi Bengkulu. Kami membahas berbagai tantangan dan masukan terkait pemenuhan hak-hak disabilitas,” ujar Destita.
Dari hasil diskusi, terungkap bahwa Provinsi Bengkulu sebenarnya telah memiliki regulasi yang cukup baik terkait penyandang disabilitas.
Bappeda mengungkapkan bahwa Rencana Kerja Anggaran (RKA) serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk disabilitas sudah dibuat dan hanya menunggu penomoran oleh gubernur agar bisa menjadi acuan bagi kabupaten/kota.
“Tugas saya nanti memastikan regulasi ini segera diterbitkan dan menjadi pedoman bagi daerah lain,” tegas Destita.
Sementara itu, masalah utama di sektor pendidikan adalah minimnya tenaga pengajar bagi Sekolah Luar Biasa (SLB). Saat ini, jumlah guru SLB sangat terbatas, sementara banyak guru senior di Sumatra Barat yang menjadi rujukan akan segera pensiun.
“Di Bengkulu belum ada program Pendidikan Luar Biasa (PLB) di perguruan tinggi. Ini harus kita dorong agar ada tenaga pendidik yang khusus menangani anak-anak berkebutuhan khusus,” jelasnya.
Di sisi lain, sektor sosial Bengkulu belum memiliki panti khusus disabilitas dan panti sosial lainnya. Kendala utamanya adalah keterbatasan anggaran daerah, sehingga perlu ada intervensi dari pemerintah pusat. Juga di bidang kesehatan, program yang ada saat ini belum membedakan layanan bagi penyandang disabilitas. Meski ada anggaran Rp77 miliar untuk infrastruktur disabilitas, bangunan-bangunan pemerintah di Bengkulu masih belum sepenuhnya ramah disabilitas, termasuk fasilitas kesehatan.
“Kantor-kantor pemerintahan saja masih minim aksesibilitas bagi disabilitas, apalagi fasilitas lainnya. Ini menjadi PR besar,” tambahnya.
Dinas Tenaga Kerja mengungkapkan bahwa meskipun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 mengamanatkan 2% kuota pekerja disabilitas di instansi pemerintah dan 1% di perusahaan swasta, realisasinya masih sangat minim. Penyebab utamanya adalah keterbatasan lulusan S1 dari kalangan disabilitas di Bengkulu.
“Saat ini hanya ada sekitar tiga atau empat mahasiswa disabilitas yang tengah kuliah. Jika syarat kerja adalah lulusan S1, lalu siapa yang bisa mengisi formasi itu?” ujar Destita.
Destita menegaskan bahwa berbagai temuan ini akan ia perjuangkan di tingkat pusat agar Bengkulu mendapatkan perhatian lebih dalam kebijakan inklusi disabilitas.
“Kita harus memastikan semua penyandang disabilitas mendapatkan haknya, baik dalam pendidikan, pekerjaan, kesehatan, maupun akses terhadap fasilitas umum. Ini bukan hanya tanggung jawab daerah, tapi juga pusat,” tutupnya.
Dengan peran aktif Destita Khairlisani, diharapkan isu-isu disabilitas di Bengkulu dapat lebih diperhatikan dan mendapatkan solusi konkret dari pemerintah pusat.(Nasti)