Oleh : Aminudin
Jurnalis Bengkulu
Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) di berbagai daerah, fenomena yang sering terjadi adalah munculnya adu argumen di antara para pendukung dan simpatisan. Dalam situasi ini, berbagai platform media sosial seperti Facebook, WhatsApp, Instagram, dan Twitter menjadi saksi bisu dari intensitas perdebatan yang sering kali berujung pada caci maki dan cela-mencela.
Setiap lima tahun sekali, momen ini hadir kembali, mengundang antusiasme sekaligus ketegangan di kalangan masyarakat. Para pendukung calon kepala daerah berusaha mempertahankan pilihan mereka, sering kali dengan cara yang emosional. Adu argumen ini tidak hanya terjadi di dunia maya; dalam beberapa kasus, konflik bahkan merembet ke dunia nyata, dengan laporan pengaduan kepada pihak berwajib sebagai akibat dari ketidakpuasan atas perdebatan yang terjadi.
Selain perdebatan yang terjadi di ruang digital, tidak jarang kita mendengar tentang insiden kekerasan yang terjadi akibat rivalitas antarpendukung. Dalam beberapa kasus ekstrem, pertikaian antara pendukung dapat berujung pada bentrokan fisik, yang mengakibatkan cedera bahkan korban jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa semangat mendukung calon tidak jarang melampaui batas, menciptakan atmosfer ketegangan di masyarakat.
Penting bagi masyarakat untuk menyadari dampak dari adu argumen ini. Dialog yang konstruktif seharusnya lebih diutamakan ketimbang perdebatan yang merugikan. Masyarakat diimbau untuk menjaga suasana damai dan saling menghargai, meskipun terdapat perbedaan pilihan politik.
Menghadapi pilkada yang akan datang, diharapkan semua pihak dapat berpartisipasi dengan bijak, mengedepankan nilai-nilai demokrasi dan menghormati perbedaan. Mari kita jadikan momen pemilihan ini sebagai ajang untuk memperkuat persatuan dan kesatuan, bukan sebagai sarana untuk merusak hubungan antarsesama.